Sabtu, 06 Juni 2015

Hadits Tentang Shalat Idul Fithri Dan Idul Adlha

بِسْــــــمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْم

Adab Shalat Ied

Adab mengerjakan shalat 'Ied dan sunnah-sunnahnya sebagai berikut :

1. Mandi dahulu

عَنِ ابْنِ السَّبَّاقِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: يَا مَعْشَرَ اْلمُسْلِمِيْنَ، اِنَّ هذَا (يَوْمَ اْلجُمُعَةِ) يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ عِيْدًا فَاغْسِلُوْا. مالك فى الموطأ 1: 65، رقم: 113
Dari Ibnus Sabbaaq, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Hai kaum Muslimin, hari (Jum'ah) ini adalah satu hari yang Allah jadikan hari raya. Karena itu hendaklah kamu mandi". [HR. Malik, dalam Al-Muwaththa’ juz 1, hal. 65, no. 113]

Keterangan :
Menurut hadits tersebut, hari Jum'ah dipandang sebagai hari raya dan kita disuruh mandi padanya. Dengan demikian dapat difaham, bahwa mandi pada hari raya adalah lebih utama.

2. Berpakaian dengan pakaian yang baik, bila ada

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَ حِبَرَةٍ فِى كُلّ عِيْدٍ. البيهقى 3: 280
Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW biasa memakai kain buatan Yaman pada tiap-tiap hari raya. [HR. Baihaqiy juz 3, hal. 280]


3. Makan sebelum berangkat

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ص لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ لاَ يَطْعَمُ يَوْمَ اْلاَضْحَى حَتَّى يُصَلّيَ. الترمذى 2: 27، رقم: 540
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, "Dahulu Rasulullah SAW tidak pergi Shalat Hari Raya 'Iedul Fithri melainkan sesudah makan. Dan tidak makan pada Hari Raya 'Iedul Adlha melainkan sesudah kembali dari shalat". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 27, no. 540]

4. Mengambil dua jalan

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ يَوْمَ اْلعِيدِ فِى طَرِيْقٍ رَجَعَ فِي غَيْرِهِ. الترمذى 2: 26، رقم: 539
Dari Abu Hurairah, ia berkata "Dahulu Rasulullah SAW apabila melewati jalan saat pergi Shalat Hari Raya, maka ketika pulang beliau mengambil jalan lain (dari yang telah dilalui waktu pergi)". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 26, no. 539]

5. Waktu dan tempat takbir hari raya

عَنِ الزُّهْرِيّ اَنَّهُ قَالَ:كَانَ النَّبِيُّ ص يَخْرُجُ يَوْمَ اْلفِطْرِ فَيُكَبّرُ مِنْ حِيْنِ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِيَ اْلمُصَلَّى. ابو بكر النجاد، مرسل فى نيل الاوطار 3: 327
Dari Az-Zuhriy, ia berkata, "Dahulu Nabi SAW keluar untuk shalat Hari Raya 'Iedul Fithri dengan takbir mulai dari rumahnya hingga tiba ditempat shalat". [HR. Abu Bakar An-Najjaad, mursal, Nailul Authar juz 3, hal. 327]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَ التَّهْلِيْلِ حِيْنَ خُرُوْجِهِ اِلَى اْلعِيْدِ يَوْمَ اْلفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ اْلمُصَلَّى. البيهقى و الحاكم، في نيل الاوطار 3: 327، ضعيف
Dari Ibnu Umar, "Bahwasanya Nabi SAW bertakbir dan bertahlil dengan suara keras ketika keluar pergi shalat hari Raya 'Iedul Fithri hingga tiba di tempat shalat". [HR. Baihaqi dan Hakim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 327, dla’if]

قَالَ النَّبِيُّ ص:زَيّنُوْا اَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيْرِ.الطبراني، غريب، في نيل الاوطار
Nabi SAW bersabda, "Hiasilah Hari Raya-Hari Raya kamu dengan takbir". [HR. Thabrani, Gharib, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 327]

Waktu dan tempat bertakbir hari raya menurut hadits yang shahih

عَنْ اُمّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: اَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ نُخْرِجَهُنَّ فيِ اْلفِطْرِ وَ اْلاَضْحَى اْلعَوَاطِقَ وَ اْلحُيَّضَ وَ ذَوَاتِ اْلخُدُوْرِ، فَاَمَّا اْلحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ. مسلم 2: 606
Dari Ummu 'Athiyah, ia berkata, "Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk membawa keluar anak-anak perempuan yang hampir baligh, perempuan-perempuan haidl dan anak-anak perempuan yang masih gadis, pada Hari Raya 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha. Adapun wanita-wanita yang haidl itu mereka tidak shalat". [HSR. Muslim, juz 2, hal. 606]

و للبخاري قَالَتْ اُمُّ عَطِيَّةَ: كُنَّا نُؤْمَرُ اَنْ نُخْرِجَ اْلحُيَّضَ فَيُكَبّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ. في نيل الاوطار 3: 324
Dan bagi Imam Bukhari, Ummu 'Athiyah berkata, "Kita diperintahkan supaya membawa keluar wanita-wanita haidl lalu bertakbir bersama-sama dengan orang banyak". [Dalam Nailul Authar juz 3, hal. 324]

Keterangan :
Dari hadits shahih di atas dapat kita fahami bahwa takbir Hari Raya itu dilaksanakan pada waktu tiba di tempat shalat sampai berdirinya shalat.

6. Waktu shalat hari raya

قَالَ جُنْدَبٌ:كَانَ النَّبِيُّ ص يُصَلّى بِنَا يَوْمَ اْلفِطْرِ وَالشَّمْسُ عَلَى قَيْدِ رُمْحَيْنِ وَ اْلاَضْحَى عَلَى قَيْدِ رُمْحٍ. احمد بن حسن، في نيل الاوطار 3: 333
Telah berkata Jundab, "Adalah Nabi SAW shalat Hari Raya 'Iedul Fithri bersama kami di waktu matahari tingginya sekadar dua batang tombak dan beliau shalat Hari Raya 'Iedul Adha diwaktu matahari tingginya sekadar satu batang tombak". [HR. Ahmad bin Hasan, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 333]

Keterangan :
Menurut riwayat di atas, waktu shalat Hari Raya 'Iedul Adha itu lebih pagi daripada waktu shalat Hari Raya 'Iedul Fithri.

7. Shalat sebelum khutbah

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ اَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رض يُصَلُّوْنَ اْلعِيْدَيْنِ قَبْلَ اْلخُطْبَةِ. البخارى 2: 5
Dari Ibnu Umar, ia berkata, "Dahulu Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar shalat dua Hari Raya sebelum khutbah". [HR. Bukhari juz 2, hal. 5]

Maksudnya :
Rasulullah SAW dan shahabat-shahabatnya mengerjakan shalat 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha sebelum khutbah.

8. Shalat hari raya tanpa adzan dan iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ ص اْلعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ اَذَانٍ وَ لاَ اِقَامَةٍ. مسلم 2: 604
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata "Saya shalat dua Hari Raya bersama Rasulullah SAW bukan hanya sekali atau dua kali, (semuanya) tanpa adzan dan iqamah". [HSR. Muslim juz 2, hal. 604]

Maksud dari riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW shalat Hari Raya 'Iedul Fithri dan Hari Raya 'Iedul Adha tanpa adzan dan iqamah.

9. Hari raya pada hari Jum'ah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَنَّهُ قَالَ: اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ فيِ يَوْمِكُمْ هذَا، فَمَنْ شَاءَ اَجْزَأَهُ مِنَ اْلجُمُعَةِ وَ اِنَّا مُجَمّعُوْنَ اِنْ شَاءَ اللهُ. ابن ماجه 1: 416، رقم: 1311
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Telah terhimpun pada hari ini dua hari raya (hari Raya dan Jum'ah). Maka barangsiapa mau, cukuplah shalat ini buat dia, tidak perlu lagi shalat Jum'ah, tetapi kami tetap akan mendirikan shalat Jum'ah, insyaa-allooh". [HR. Ibnu Majah dan Ibnu Majah juz 1, hal. 416, no. 1311]

10. Shalat dan khutbah di tanah lapang

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّهُ اَصَابَهُمْ مَطَرٌ فيِ يَوْمِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ ص صَلاَةَ الْعِيْدِ فيِ اْلمَسْجِدِ. ابو داود 1: 301 رقم: 1160، ضعيف
Dari Abu Hurairah bahwasanya pada suatu hari Raya, para shahabat kehujanan, maka Nabi SAW mengerjakan shalat Hari Raya bersama mereka di masjid. [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 301, no. 1160, dla’if]

Keterangan :
  • Menurut kebiasaan memang Nabi SAW mengerjakan shalat dan khutbah hari Raya di tanah lapang. Tetapi hal itu tidak menunjukkan kepada hukum wajib. Sesuatu perbuatan bisa menunjukkan kepada hukum wajib jika disertai dengan perintah.
  • Kebanyakan ulama memandang bahwa Nabi SAW mengerjakan yang demikian itu bukan karena tidak shah dikerjakan di masjid, tetapi karena tak cukup tempat di masjid, sebab pada waktu itu orang-orang yang berkumpul pada hari Raya lebih banyak dari pada hari-hari yang lain.
  • Dari seluruh pembicaraan tersebut, nyatalah bahwa shalat Hari Raya di masjid itu tidak terlarang, apalagi jika turun hujan atau lain-lain halangan. Oleh karena itu perkataan Abu Hurairah tadi walaupun lemah riwayatnya tetapi shahih maknanya. Perlu dijelaskan bahwa Rasulullah SAW shalat di tanah lapang itu diambil dari pengertian Mushalla :
اَلْمُصَلَّى مَوْضِعٌ بِبَابِ اْلمَدِيْنَةِ الشَّرْقِيّ. فقه السنة 1: 268
"Mushalla itu adalah suatu tempat di pintu gerbang Madinah sebelah timur". [Fiqhus Sunnah juz 1, hal. 268]

اَلْمُصَلَّى مَوْضِعٌ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلمَسْجِدِ اَلْفَ ذِرَاعٍ. فقه السنة 1: 271
"Mushalla itu tempatnya sejauh 1.000 hasta dari masjid Madinah" [Fiqhus Sunnah juz 1, ha. 271]
  • Jadi jelaslah bahwa Rasulullah SAW jika shalat Hari Raya itu di tanah lapang.

11. Takbir dalam shalat pada dua hari raya

Takbir shalat pada dua Hari Raya (Hari Raya 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha), dilaksanakan dengan 7 kali pada rekaat pertama, dan 5 kali pada rekaat yang kedua sebelum membaca Al-Fatihah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW maupun perbuatan para shahabat.:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ قَالَ:قَالَ نَبِيُّ اللهِ ص: اَلتَّكْبِيْرُ فيِ اْلفِطْرِ سَبْعٌ فيِ اْلاُوْلَى وَ خَمْسٌ فيِ اْلآخِرَةِ وَ اْلقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا. ابو داود 1: 299، رقم: 1151
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, ia berkata : Nabi Allah SAW bersabda, “Takbir pada (shalat) ‘Iedul Fithri adalah 7 kali di rekaat pertama dan 5 kali di rekaat yang akhir (kedua). Adapun bacaan, sesudah kedua-duanya itu". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 299, no. 1151]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَبَّرَ فِى اْلعِيْدِ يَوْمَ اْلفِطْرِ سَبْعًا فِى اْلاُوْلىَ وَ فِى اْلاخِرَةِ خَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَةِ الصَّلاَةِ. الدارقطنى 2: 48
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah SAW bertakbir dalam shalat hari raya 'Iedul Fithri tujuh takbir pada rekaat pertama dan lima takbir pada rekaat kedua, selain takbir (yang biasa dalam) shalat. [HR. Daruquthni, juz 2, hal. 48]

Tentang atsar (perbuatan) para shahabat, diriwayatkan :

عَنْ نَافِعٍ مَوْلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ قَالَ: شَهِدْتُ اْلاَضْحَى وَ اْلفِطْرَ مَعَ اَبِى هُرَيْرَةَ فَكَبَّرَ فيِ الرَّكْعَةِ اْلاُوْلىَ سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ قَبْلَ اْلقِرَاءَةِ وَ فِى اْلآخِرَةِ خَمْسَ تَكْبِيْرَاتٍ قَبْلَ اْلقِرَاءَةِ. مالك فى الموطأ
Dari Nafi', maula Abdullah bin 'Umar, bahwa dia berkata, "Aku pernah menyaksikan 'Iedul Adha dan 'Iedul Fithri bersama Abu Hurairah. Maka ia bertakbir di rekaat pertama 7 takbir sebelum membaca, dan di rekaat kedua 5 takbir sebelum membaca". [HR. Malik, Muwaththa’ juz 1, hal. 180]

عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُكَبّرُ فيِ اْلعِيْدَيْنِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً. سَبْعٌ فيِ اْلاُوْلىَ وَ خَمْسٌ فيِ اْلآخِرَةِ. البيهقى 3: 289
Dari 'Atha', ia berkata, "Adalah Ibnu 'Abbas bertakbir di dua Hari Raya 12 takbir, yaitu 7 di rekaat pertama dan 5 di rekaat yang kedua". [HR. Baihaqi juz 3, hal. 289]

12. Bacaan takbir hari raya

Bacaan Takbir pada hari Raya yang bersumber dari shahabat Umar dan Ibnu Mas'ud adalah :

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرُ،اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ. فى نيل الاوطار 3 :358، فقه السنة 1: 275
(Alloohu Akbar, Alloohu Akbar, Laa ilaaha illalloohu walloohu Akbar Alloohu Akbar wa lillaahil-hamdu). Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Allah, dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan kepunyaan Allah-lah segala pujian. [Dalam Nailul Authar juz 3 hal. 358, Fiqhus Sunnah juz 1 hal. 275]

13. Ucapan pada hari raya

Para shahabat Nabi SAW jika bertemu di antara mereka pada Hari Raya, mereka mengucapkan :

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ.
"Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kamu"

Jubair bin Nufair meriwayatkan :

كَانَ اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ص اِذَا تَلَقَّوْا يَوْمَ اْلعِيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ. جبير بن نفير 
Para shahabat Rasulullah SAW jika bertemu satu dengan yang lain pada Hari Raya saling mengucapkan, “Taqobbalalloohu minnaa wa minkum”. [HR. Jubair bin Nufair]

14. Larangan berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha
Hadis riwayat Umar bin Khathab ra., ia berkata: Bahwa dua hari ini hari yang dilarang Rasulullah saw. untuk berpuasa, yaitu hari raya Idul Fitri setelah kalian berpuasa (Ramadan) dan hari raya makan (daging kurban) setelah kalian menunaikan ibadah haji. (Shahih Muslim No.1920)

Hadis riwayat Abu Said Khudhri ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah patut berpuasa pada dua hari tertentu, yakni Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri setelah puasa Ramadan. (Shahih Muslim No.1922)

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar ra. dan berkata: Sungguh aku telah bernazar untuk berpuasa satu hari yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Idul Fitri. Ibnu Umar ra. berkata: Allah Taala memerintahkan untuk menepati janji, nazar dan Rasulullah saw. melarang puasa pada hari ini. (Shahih Muslim No.1924)

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hari Raya Fithri adalah hari orang-orang berbuka dan hari raya Adlha adalah hari orang-orang berkurban." Riwayat Tirmidzi.

Dari Abu Said Al-Khudry bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada dua hari, yakni hari raya Fithri dan hari raya Kurban. Muttafaq Alaihi.

Kekeliruan yang Sering Terulang Dalam ‘Iedul Fitri

Berkenaan dengan “menghidupkan malam ‘Ied”, sebagian orang berkeyakinan bahwa hal tersebut disyariatkan, bahkan menyebarkan hadits dha’if yang berkenaan dengan itu, yaitu “Barangsiapa yang menghidupkan malam ‘Ied, maka hatinya tak akan mati pada hari dimatikannya semua hati”

keterangan : Hadits di atas diriwayatkan dengan dua sanad, yang satu dha’if yang satu lagi dha’if sekali. Dengan demikian, tidak ada perintah khusus untuk menghidupkan malam ‘Ied.
Telah terjadi ikhtilath (bercampur) antara laki-laki dan perempuan di sebagian tempat salat, atau di jalan-jalan serta lainnya. Dan yang lebih memprihatinkan hal itu terjadi di tempat yang suci seperti mesjid, bahkan di Masjidil Haram. Tidak sedikit kaum wanita (semoga Allah memberi petunjuk) keluar rumah menuju mesjid atau lapangan dengan berdandan, pakai parfum, bercelak, dan sebagainya. Kemudian di mesjid berdesakan, tentu ini fitnah dan sangat mengkhawatirkan. Karena itu saya nasehati para pemuda untuk tinggal dulu di mesjid apabila selesai salat Subuh –bagi yang shalat Subuh di mesjid– sehingga shalat Ied, dan baru keluar apabila kaum wanita sudah bubar dari shalat ’Iednya.

Apa yang dilakukan oleh sebagian orang, mereka berkumpul sembari mendengarkan musik atau melakukan segala bentuk permainan-permainan yang sia-sia dan tak ada gunanya. Hal ini jelas tidak boleh.

Sebagian orang ada yang merasa bahagia dengan datangnya hari raya, karena Ramadhan selesai dan tidak ada puasa lagi di hari esoknya. Ini adalah sebuah kekeliruan Berbeda halnya dengan kebahagiaan yang dirasakan orang mukmin, mereka berbahagia karena dengan taufik Allah dapat menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Jadi bukan karena selesainya puasa sebagaimana anggapan sebagian orang.

Hadirnya wanita haid dalam sholat dua hari raya dan dakwah kaum muslimin, tetapi menjauhkan diri dari tempat sholat

Hafsah [binti Sirin] berkata, "Kamu semua melarang gadis-gadis kami untuk keluar pada kedua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha). Datanglah seorang perempuan lalu singgah di gedung keluarga Khalaf, [lalu aku datang kepadanya], kemudian ia bercerita tentang saudara perempuannya-dan suami dari saudara perempuannya telah mengikuti peperangan bersama-sama dengan Nabi Muhammad saw sebanyak dua belas kali-. Perempuan tersebut selanjutnya mengatakan, 'Saudara perempuanku itu pernah mengikuti suaminya (dalam peperangan) sebanyak enam kali. Ia mengatakan, 'Kami mengobati yang terluka, mengurus yang sakit.' Saudara perempuanku bertanya kepada Nabi Muhammad saw, 'Apakah tidak apa-apa bagi salah seorang di antara kami untuk tinggal di rumah kalau dia tidak mempunyai jilbab? Beliau menjawab, 'Hendaknya sahabatnya mengenakan salah satu jilbabnya kepadanya dan hendaknya dia berpartisipasi di dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan kaum muslimin.' Pada waktu Ummu Athiyyah datang, aku datang kepadanya lalu] aku bertanya kepadanya, 'Apakah Anda pernah mendengar Nabi Muhammad saw mengenai masalah ini (yakni bolehnya kaum wanita keluar untuk menghadiri kebaikan yang diadakan oleh kaum muslimin)?' Ummu Athiyyah berkata, 'Ya, semoga ayahku berkorban untuknya (Nabi Muhammad saw.)-Ummu Athiyyah tidak menyebutkan sesuatu melainkan hanya berkata, 'Semoga ayahku berkorban untuknya'-. Aku pernah mendengar Nabi Muhammad saw bersabda, '[Hendaklah] wanita-wanita merdeka (anak-anak gadis) dan wanita-wanita pingitan atau anak-anak gadis pingitan [Abu Ayyub ragu-ragu] dan wanita-wanita haid keluar [pada hari raya] untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah orang-orang mukmin, dan orang yang haid supaya mengucilkan diri dari mushalla.' [Seorang perempuan bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?' Beliau menjawab, 'Hendaklah sahabatnya berpartisipasi dengan mengenakan jilbabnya kepadanya.'].'" Hafshah berkata, "Aku bertanya, 'Bagaimana dengan wanita-wanita yang sedang haid?' Jawabnya, 'Bukankah wanita yang sedang haid juga hadir di Arafah, [menghadiri] ini dan [menghadiri] ini?'" (Dalam satu riwayat dari Hafshah, "Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga kami suruh keluar juga anak-anak gadis dari pingitannya, hingga kami keluarkan wanita-wanita yang sedang haid, lalu mereka berada di belakang orang banyak, lantas bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa sebagaimana mereka berdoa karena mengharapkan keberkahan dan kesucian hari itu.")

Hadis riwayat Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah ikut salat Idul Fitri bersama Nabi, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka semua melakukan salat Ied sebelum khutbah, kemudian ia berkhutbah, ia berkata: Rasulullah turun, seola-olah aku melihat beliau ketika beliau dengan isyarat tangan mempersilakan kaum lelaki duduk. Kemudian beliau berjalan di antara barisan sampai ke tempat para wanita. Beliau disertai Bilal. Lalu beliau membaca: Hai Nabi, apabila para wanita yang beriman mendatangimu untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah. Beliau membaca ayat ini hingga akhir. Lalu beliau bertanya: Apakah kalian akan berjanji setia? Seorang wanita satu-satunya di antara mereka menjawab tegas: Ya, wahai Nabi Allah! Saat itu tidak diketahui siapa wanita tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: Bersedekahlah kalian! Bilal membentangkan pakaiannya seraya berkata: Marilah, demi bapak ibuku sebagai tebusan kalian! Mereka pun segera melemparkan gelang dan cincin ke dalam pakaian Bilal. (Shahih Muslim No.1464)

Hadis riwayat Jabir bin Abdullah, ia berkata : Bahwa Nabi pernah melaksanakan salat hari Raya Fitri. Beliau memulai dengan salat terlebih dahulu. Sesudah itu beliau berkhutbah kepada kaum muslimin. Selesai khutbah Nabi turun dan mendatangi kaum wanita. Beliau memberikan peringatan kepada mereka sambil berpegangan pada tangan Bilal. Lalu Bilal membentangkan pakaiannya dan para wanita memberikan sedekah. (Shahih Muslim No.1466)

Hadis riwayat Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ia berkata: Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Atha telah mengabarkanku dari Ibnu Abbas dan dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, keduanya berkata: Tidak ada azan bagi salat hari raya idul fitri atau idul adha. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang itu, lalu Jabir bin Abdullah Al-Anshari memberitahukan kepadaku bahwa tidak ada azan untuk salat hari raya idul fitri, baik saat imam menaiki mimbar maupun sesudahnya. Juga tidak ada iqamat, seruan atau apapun. Pada saat itu tidak ada azan atau iqamat. (Shahih Muslim No.1468)

Hadis riwayat Ibnu Umar, ia berkata : Bahwa Nabi, Abu Bakar dan Umar, mereka melakukan salat Ied (idul fitri dan idul adha) sebelum khutbah. (Shahih Muslim No.1471)

Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri, ia berkata : Bahwa Rasulullah selalu keluar pada hari raya raya idul adha dan hari raya idul fitri. Beliau memulai dengan salat. Setelah menyelesaikan salat dan mengucapkan salam, beliau berdiri menghadap kaum muslimin yang duduk di tempat salat mereka masing-masing. Jika beliau mempunyai keperluan yang perlu disampaikan, beliau akan tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya): Bersedekahlah kalian! bersedekahlah! Bersedekahlah! Dan ternyata mayoritas yang memberikan sedekah adalah kaum wanita. Setelah itu beliau berlalu. (Shahih Muslim No.1472)

Hadis riwayat Ummu Athiyyah ra., ia berkata : Nabi saw. memerintahkan kami untuk membolehkan gadis-gadis dan gadis-gadis pingitan keluar rumah dan beliau memerintahkan para wanita yang sedang haid agar menjauhi tempat salat kaum muslimin. (Shahih Muslim No.1473)

Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami diperintahkan mengajak keluar gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada kedua hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, wanita-wanita yang haid itu terpisah dari tempat sholat. Muttafaq Alaihi.

Demikianlah beberapa hadits tentang seputar Idul Fitri atau Idul Adha, Semoga bermanfaat bagi kita semua....



Hadits Tentang Nisfu Sya'ban

Assalamualaikum Wr. Wb
Ustd yang di rahmati Allah. Saya mau tanya tentang Nisfu sya'ban, adakah nash yang menjelaskan tentang hal ini, dan apa yang sering di lakukan oleh Rasullah SAW pada bulan sya'ban.
Jazakallah atas jawabannya
Wassalamualaikum Wr. Wb
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam ke-15bulan Sya'ban (nisfu sya'ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW.
Namun bukan berarti apa yang dikerjakan ituotomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.
Walhasil, perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.
Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya'ban dan Khususnya Nisfu Sya'ban
Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya'ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)
Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira'), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab, "Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya'ban (pertengahan bulan sya'ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya'ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi)
Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-'Alaa' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-'Alaa' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya'ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya'ban.

Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya'ban." Beliau menjawab, "Bulan sya'ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasai)
Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a'mal, bukan masalah aqidah asasiyah dan hukum halam dan haram.
Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya'ban khususnya malam nisfu sya'ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya'ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia.
Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya'ban itu.
Ritual Khusus Malam Nisfu Sya'ban
Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini?
Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya hadits berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban.
1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitabIhya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Ustadz 'Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Kesimpulan
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf' sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.
Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor manhaj yang benar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

“Perkara Halal yang Dibenci Allah Adalah Perceraian”

ceraiHadits yang sudah sangat ma’ruf di telinga kita semua, yaitu “Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Perceraian.” Namun bagaimanakah jalan periwayatan hadits ini sebenarnya? Dan bagaimanakah status haditsnya?
Hadits ini teriwayatkan dengan dua jalan, musnad dan mursal :
1. Sanad musnad, dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Daawud dalam Sunan-nya dengan sanad dan matan :
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid, dari Mu’arrif bin Waashil, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Ibnu ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhuma-, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah Ta’ala adalah thalaq (perceraian).”
[Sunan Abu Daawud 3/505]
Dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy (Sunan Al-Kubraa 7/320); Al-Jashshaash (Ahkaamul Qur’an no. 310), dari jalan Muhammad bin Khaalid.
Para perawi Abu Daawud adalah para perawi tsiqah, kecuali Muhammad bin Khaalid.
Muhammad bin Khaalid bin Muhammad Al-Wahbiy, Abu Ahmad Al-Himshiy Al-Kindiy, Abu Daawud berkata “tidak mengapa dengannya”, Al-Haafizh berkata “shaduuq”. [Tahdziibul Kamaal no. 5180; Taqriibut Tahdziib no. 5848]
Al-Imam Al-Haakim mengeluarkannya dari jalan Ahmad bin Yuunus :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، ثنا مَعْرُوفُ بْنُ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah menceritakan kepada kami Ma’ruuf bin Waashil[1], dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Al-Mustadrak 2/196]
Al-Haakim berkata :
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
“Hadits ini shahih, namun keduanya (yaitu Al-Bukhaariy dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” (Dan Al-Haafizh Adz-Dzahabiy dalam Talkhish-nya mengatakan sesuai syarat Muslim).
Para perawi Al-Haakim adalah para perawi tsiqah, kecuali Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah Al-‘Absiy, atau Abu Ja’far bin Abi Syaibah Al-Kuufiy Al-Haafizh, terjadi pertentangan ahli naqd pada dirinya, namun yang benar ia shaduuq, seorang ahli ilmu sebagaimana perkataan Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 6/254, dan ia mempunyai kelemahan dalam periwayatannya, sebagaimana perkataan Abul Husain bin Al-Munaadiy, yg dinukil Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam Lisaanul Miizaan 7/342 :
قد أكثر الناس عنه على إضطراب فيه
“Banyak manusia telah meriwayatkan darinya diatas idhtiraab padanya.”
Inilah kuncinya, karena ternyata Ahmad bin Yuunus, Syaikhnya Abu Ja’far meriwayatkan tidak dengan sanad musnad, sebagaimana yang akan datang nanti, insya Allah.
Mu’arrif dalam periwayatannya dari Muhaarib mempunyai mutaba’ah dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Maajah :
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid Al-Himshiy, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid, dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Sunan Ibnu Maajah no. 2018]
Dan dikeluarkan pula oleh Ath-Tharasuusiy (Musnad Ibnu ‘Umar no. 14); Tammaam Ar-Raaziy (Fawaa’id no. 26); Al-Baghawiy (Ma’aalimut Tanziil no. 153); Ibnu ‘Asaakir (Taariikh Dimasyq 5/422), semua dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid.
‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, Abu Ismaa’iil Al-Kuufiy. Ahmad berkata “bukan orang yang muhkam dalam haditsnya”, Ibnu Ma’iin, Abu Zur’ah dan Abu Haatim sepakat melemahkannya, dalam riwayat lain Ibnu Ma’iin berkata “tidak ada nilainya”, Al-Fallaas dan An-Nasaa’iy berkata “matruuk”, An-Nasaa’iy dalam riwayat lain berkata “tidak tsiqah, tidak ditulis haditsnya”, Abu Ja’far Al-‘Uqailiy berkata “didalam haditsnya banyak hal-hal yang diingkari, tidak mempunyai penguat terhadap kebanyakan haditsnya”, dan Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy pun melemahkannya. [Tahdziibul Kamaal no. 3694; Taqriibut Tahdziib no. 4350]
Maka sanad Ibnu Maajah ini tidak bisa dijadikan mutaba’ah. Al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauziy mencacatkannya dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyah no. 1056.
2. Sanad mursal, dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Daawud dalam Sunan-nya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا مُعَرِّفٌ، عَنْ مُحَارِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah menceritakan kepada kami Mu’arrif, dari Muhaarib, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu yang Dia benci atasnya melebihi perceraian.”
[Sunan Abu Daawud 3/504]
Ahmad bin ‘Abdillaah bin Yuunus At-Tamiimiy Al-Yarbuu’iy, Abu ‘Abdillaah Al-Kuufiy. Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam At-Taqriib no. 63, mensifatinya dengan “tsiqah haafizh”.
Dan yang lebih menguatkan bahwa Ahmad bin Yuunus meriwayatkan hadits ini secara mursal adalah sanad yang dikeluarkan Al-Imam Al-Baihaqiy :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، نا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، نا أَبُو دَاوُدَ، نا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، نا مُعَرَّفٌ، عَنْ مُحَارِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillaah Al-Haafizh, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih, telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Yuunus. (Dalam sanad yang lain) Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy, telah memberitakan kepada kami Abu Bakr bin Daasah, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud, telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’arrif, dari Muhaarib, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Sunan Al-Kubraa 7/320]
Abu Bakr Al-Baihaqiy berkata :
هَذَا حَدِيثُ أَبِي دَاوُدَ، وَهُوَ مُرْسَلٌ، وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، مَوْصُولا وَلا أَرَاهُ حَفِظَهُ
“Ini adalah hadits Abu Daawud, dan ia mursal. Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah (yaitu Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah), dari ‘Abdullaah bin ‘Umar diriwayatkan secara maushul, aku tidak melihat riwayat ini terjaga.”
Al-Imam Al-Baihaqiy mengeluarkannya dari jalan Yahyaa bin Bukair yang juga mursal, dengan matan yang lebih panjang :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ مِنْ أَصْلِ سَمَاعِهِ، أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَطَّانُ، نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَارِثِ الْبَغْدَادِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، نا مُعَرَّفُ بْنُ وَاصِلٍ، حَدَّثَنِي مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ، قَالَ: ” تَزَوَّجَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةً فَطَلَّقَهَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَتَزَوَّجْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ طَلَّقْتُ، قَالَ: أَمِنْ رِيبَةٍ؟ قَالَ: لا، قَالَ: قَدْ يَفْعَلُ ذَلِكَ الرَّجُلُ، قَالَ: ثُمَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً أُخْرَى فَطَلَّقَهَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِثْلَ ذَلِكَ، قَالَ مُعَرَّفٌ: فَمَا أَدْرِي أَعِنْدَ هَذَا، أَوْ عِنْدَ الثَّالِثَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَلالِ أَبْغَضَ إِلَى اللَّهِ مِنَ الطَّلاقِ
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih -dari sama’nya-, telah memberitakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Qaththaan, telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Al-Haarits Al-Baghdaadiy, telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Bukair, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’arrif bin Waashil, telah menceritakan kepadaku Muhaarib bin Ditsaar, ia berkata, “Seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia menceraikan istrinya. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya :
“Bukankah kau sudah menikah?” Laki-laki itu menjawab, “Benar,” Nabi bertanya, “Lalu bagaimana?” Laki-laki menjawab, “Lalu aku menceraikannya,” Nabi bertanya kembali, “Bukankah (kau menceraikannya) karena bimbang?” Laki-laki menjawab, “Tidak.” Muhaarib berkata, “Sungguh laki-laki tersebut telah melakukan hal itu (yaitu menceraikan istrinya).”
Kemudian ia menikah kembali dengan wanita yang lain, dan ia pun menceraikannya. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya kepadanya hal yang serupa. Mu’arrif berkata, “Aku tidak tahu apakah ketika perceraian yang kedua ini atau ketika perceraian yang ketiga kali, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya tidak ada sesuatupun dari perkara halal yang dibenci Allah melebihi perceraian.”
[Sunan Al-Kubraa 7/320; Sunan Ash-Shaghiir no. 2786]
Yahyaa bin ‘Abdillaah bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Zakariyya Al-Mishriy, Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam At-Taqriib no. 7630 mengisyaratkan akan tsiqahnya ia terutama pada riwayatnya dari Al-Laits namun ia diperbincangkan pada riwayatnya dari Maalik.
Al-Imam Abu Bakr bin Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Wakii’ :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ نَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنْ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” لَيْسَ شَيْءٌ مِمَّا أَحَلَّ اللَّهُ أَبْغَضَ إلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr (yaitu Ibnu Abi Syaibah), ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ bin Al-Jarraah, dari Mu’arrif, dari Muhaarib bin Ditsaar, ia berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Al-Mushannaf 4/172]
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ru’uusiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy. Seorang imam, Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 7414 mengatakan ia tsiqah haafizh dan ‘aabid (ahli ibadah).
Syaahid
Sanad ini mempunyai syaahid dari Mu’aadz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Ad-Daaraquthniy :
نَا عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّقَّاقُ، نَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سِنِينَ، نَا عُمَرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ خَالِدٍ، نَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَالِكٍ اللَّخْمِيُّ، نَا مَكْحُولٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ، فَمَنْ طَلَّقَ وَاسْتَثْنَى فَلَهُ ثُنْيَاهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad Ad-Daqqaaq, telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin Siniin, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Ibraahiim bin Khaalid, telah mengkhabarkan kepada kami Humaid bin ‘Abdirrahman bin Maalik Al-Lakhmiy, telah mengkhabarkan kepada kami Makhuul, dari Maalik bin Yukhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu…dst (hadits).”
[Sunan Ad-Daaraquthniy no. 3941]
Namun sanad ini sangat lemah, ‘Umar bin Ibraahim bin Khaalid Al-Kurdiy Al-Haasyimiy, ia seorang pendusta sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy, bahkan dinukil dari Ad-Daraaquthniy, ia berkata “pendusta yang sangat buruk”. [Al-Mughniy fiy Adh-Dhu’afaa’ 2/34; Miizaanul I’tidaal 5/216]
Sedangkan Humaid, kami mendapatinya di kitab-kitab para perawi hadits dengan nama Humaid bin Maalik Al-Lakhmiy (dialah yang meriwayatkan dari Makhuul), ayahnya tidak bernama ‘Abdurrahman, wallaahu a’lam. Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 2/390 mengisyaratkan akan kelemahannya dengan menukil bahwa Ibnu Ma’iin, Abu Zur’ah dan yang selain mereka melemahkan Humaid. An-Nasaa’iy berkata, “Aku tidak mengetahui yang meriwayatkannya selain Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dua-duanya tsiqah.” Dan An-Nasaa’iy sendirian dalam ta’dil.
Ad-Daaraquthniy mengeluarkan pula dari jalan Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari Humaid :
نَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ الدَّوْلابِيُّ، وَيَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالا: نَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ مَالِكٍ اللَّخْمِيِّ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” يَا مُعَاذُ، مَا خَلَقَ اللَّهُ شَيْئًا عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَتَاقِ، وَلا خَلَقَ اللَّهُ شَيْئًا عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ، فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِمَمْلُوكِهِ: أَنْتَ حُرٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَهُوَ حُرٌّ، وَلا اسْتِثْنَاءَ لَهُ، وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَهُ اسْتِثْنَاؤُهُ، وَلا طَلاقَ عَلَيْهِأَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَهُ اسْتِثْنَاؤُهُ، وَلا طَلاقَ عَلَيْهِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul ‘Abbaas Muhammad bin Muusaa bin ‘Aliy Ad-Daulaabiy dan Ya’quub bin Ibraahiim, keduanya berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari Humaid bin Maalik Al-Lakhmiy, dari Makhuul, dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Wahai Mu’aadz, tidaklah Allah menciptakan sesuatu diatas muka bumi yang Dia sukai melebihi memerdekakan budak, dan tidak pula Allah menciptakan sesuatu diatas muka bumi yang Dia benci melebihi perceraian…dst (hadits).”
[Sunan Ad-Daaraquthniy no. 3939]
Sanad ini pun lemah, Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy bin Saliim Al-‘Ansiy, Abu ‘Utbah Al-Himshiy, Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 473 berkata, “shaduuq pada riwayatnya dari penduduk negerinya (yaitu Syaam), dan tercampur baur pada riwayat dari selainnya”, dan Humaid Al-Lakhmiy bukan penduduk negeri Syaam, maka periwayatan Ibnu ‘Ayyaasy darinya lemah.
Selain faktor Ibnu ‘Ayyaasy, sanad ini mursal, Makhuul Asy-Syaamiy tidak pernah bertemu dengan Mu’aadz bin Jabal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Imam At-Tirmidziy dalam Tahdziibul Kamaal no. 6168 :
وقال أبو عيسى الترمذي: سمع من: واثلة، وأنس، وأبي هند الداري، ويقال: إنه لم يسمع من أحد من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إلا من هؤلاء الثلاثة
Dan berkata Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy, “Mendengar dari Waatsilah (bin Al-Asqa’), Anas dan Abu Hind Ad-Daariy dan dikatakan sesungguhnya ia tidak mendengar dari seorangpun sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali dari ketiga sahabat tersebut.”
Terlebih lagi terjadi idhtiraab pada kedua sanad. Sanad pertama teriwayatkan secara musnad muttashil namun ada perawi pendusta didalamnya, sedangkan sanad kedua teriwayatkan secara mursal. Jika dirajihkan sanad Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, maka yang mahfuuzh dalam sanad syaahid ini adalah yang mursal.
Oleh karena itu hadits Mu’aadz ini tidak bisa menjadi penguat hadits Muhaarib.
Khulashah Sanad
Maka dari penjabaran diatas, sanad yang musnad muttashil teriwayatkan dari jalan Muhammad bin Khaalid (dan ia tsiqah atau bahkan hanya shaduuq), sementara pada riwayat Al-Haakim teriwayatkan dari jalan Ahmad bin Yuunus, namun sanad Al-Haakim syaadz karena Abu Ja’far bin Abi Syaibah menyelisihi Abu Daawud yang meriwayatkan dari Ahmad bin Yuunus secara mursal (sebagaimana perkataan Al-Baihaqiy yang telah lalu, dan Abu Daawud jelas lebih haafizh dari Abu Ja’far), oleh karena itu sanad yang mahfuuzh adalah sanad Ahmad bin Yuunus secara mursal.
Sementara sanad yang mursal teriwayatkan dari 3 jalan, yaitu Ahmad bin Yuunus, Yahyaa bin Bukair dan Wakii’ bin Al-Jarraah, dan mereka adalah para imam haafizh yang riwayatnya dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim, dan riwayat mereka saling mendukung.
Al-Imam Ibnu Abi Haatim berkata :
وسألتُ أبي عن حديث رواه محمد بن خالد الوَهْبي، عن الوصَّافي، عن محارب بن دثار، عن عبد الله بن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أبغض الحلال إلى الله الطلاق. ورواه أيضا محمد بن خالد الوهبي، عن معرف بن واصل، عن محارب بن دثار، عن عبد الله بن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله، قال أبي : محارب، عن النبي صلى الله عليه وسلم مرسل
Aku bertanya pada ayahku mengenai hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Al-Washaafiy, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian.” Dan diriwayatkan pula oleh Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Mu’arrif bin Waashil, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam semisalnya.
Ayahku berkata, “(Yang benar) Muhaarib dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, secara mursal.” [Al-‘Ilal li Ibni Abi Haatim no. 1297]
Al-Imam Ad-Daaraquthniy ditanya mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini, maka ia berkata :
يرويه عبيد الله بن الوليد الوصافي، عن محارب كذلك، ورواه معرف بن واصل واختلف عنه : فرواه محمد بن خالد الوهبي، عن معرف، عن محارب، عن إبن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم، ورواه أبو نعيم، عن معرف، عن محارب مرسلا، عن النبي صلى الله عليه وسلم، والمرسل أشبه
“‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy meriwayatkannya dari Muhaarib seperti itu. Dan diriwayatkan Mu’arrif bin Waashil, namun terjadi ikhtilaf padanya. Pada periwayatan Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Mu’arrif, dari Muhaarib, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam (secara musnad), dan diriwayatkan Abu Nu’aim, dari Mu’arrif, dari Muhaarib secara mursal, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan sanad yang mursal lebih mendekati (kebenaran).” [Al-‘Ilal Al-Waaridah no. 3123]
Demikian pula Abu Bakr Al-Baihaqiy merajihkan sanad yang mursal dari perkataannya yang telah lalu diatas.
Al-Haafizh Abu ‘Abdillaah Ibnu ‘Abdil Haadiy berkata :
روي مرسلا، وهو أشبه، قاله الدارقطني، وقال أبو الحاتم: إنما هو محارب عن النبي صلى الله عليه وسلم مرسل
“Riwayat mursal lebih mendekati (kebenaran), demikian perkataan Ad-Daaraquthniy. Dan Abu Haatim berkata, “Yang benar adalah Muhaarib, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mursal.” [Al-Muharrar 1/566]
Al-Haafizh Abu Hafsh Ibnul Mulaqqin berkata :
وهذا مرسل كما ترى
“Dan hadits ini mursal sebagaimana telah kau lihat.” [Al-Badrul Muniir 8/66]
Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy berkata :
ورجح أبو حاتم والدارقطني في العلل والبيهقي المرسل
“Abu Haatim dan Ad-Daaraquthniy dalam Al-‘Ilal, juga Al-Baihaqiy, merajihkan yang mursal.” [Talkhiishul Habiir 3/417]
Syaikh Syu’aib Al-Arnaa’uuth dalam ta’liiq dan takhriij Sunan Abu Daawud 3/504 merajihkan yang mursal.
Maka kesimpulannya, hadits “Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Perceraian”, yang rajih adalah hadits ini hadits mursal, dan hadits mursal termasuk bagian dari hadits-hadits yang dha’if. Selesai.
Tanbiih
Walaupun hadits ini dha’if, namun maknanya shahih. Syaikh Al-Arnaa’uuth dalam ta’liqnya berkata :
ولكنه مع إرساله يحتج به عند الأئمة الثلاثة، أبي حنيفة، ومالك، وأحمد، إذا لم يكن في الباب ما يخالفه. انتهى كلام الشيخ
“Akan tetapi bersamaan dengan keterputusan sanadnya, hadits ini dijadikan hujjah di sisi para imam yang tiga, Abu Haniifah, Maalik dan Ahmad, jika dalam bab ini tidak ada hadits yang menyelisihinya.” Selesai perkataan Syaikh.
Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
يروى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( أبغض الحلال إلى الله الطلاق ) وهذا الحديث ليس بصحيح ، لكنَّ معناه صحيح ، أن الله تعالى يكره الطلاق ، ولكنه لم يحرمه على عباده للتوسعة لهم ، فإذا كان هناك سبب شرعي أو عادي للطلاق صار ذلك جائزاً ، وعلى حسب ما يؤدي إليه إبقاء المرأة ، إن كان إبقاء المرأة يؤدي إلى محظور شرعي لا يتمكن رفعه إلا بطلاقها فإنه يطلقها ، كما لو كانت المرأة ناقصة الدين ، أو ناقصة العفة ، وعجز عن إصلاحها ، فهنا نقول : الأفضل أن تطلق ، أما بدون سبب شرعي ، أو سبب عادي ، فإن الأفضل ألا يطلق ، بل إن الطلاق حينئذٍ مكروه ” انتهى
Diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian,” dan hadits ini tidaklah shahih akan tetapi maknanya shahih, karena Allah Ta’ala membenci perceraian namun Dia tidaklah mengharamkan perceraian atas para hambaNya untuk mempermudah mereka. Jika disana terdapat sebab yang syar’i atau alasan yang umum dan jelas untuk bercerai, maka dibolehkan, dan semua tergantung pada sebab-sebab yang membuat ia menahan istrinya. Namun jika menahan sang istri membuatnya menghampiri perkara-perkara yang terlarang secara syar’i, tidaklah mungkin baginya untuk mengatasi perkara-perkara tersebut kecuali dengan menceraikannya, maka ia (boleh) menceraikannya, sebagaimana jika sang istri ternyata kurang berkomitmen terhadap agamanya atau kurang akhlaknya dan sulit untuk meluruskannya, maka disini kami katakan, “Yang afdhal adalah kau menceraikan.” Adapun jika tanpa ada sebab yang dibenarkan syar’i, atau alasan yang umum, maka yang afdhal adalah tidak bercerai, bahkan jika bercerai dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.” Selesai.
[Liqaa’aat Al-Baab Al-Maftuuh no. 55, soal no. 3]
Alhamdulillaahil-ladziy bi ni’matihi tatimmush-shaalihaat. Semoga bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
Tangerang, 24 Jumadil Awwal 1435 H
Tommi Marsetio
Banyak mengambil faidah dari :
Al-Badrul Muniir“, karya Al-Haafizh Abu Hafsh Ibnul Mulaqqin, Daarul Hijrah lin-Nasyr wat-Tauzii’, cetakan pertama.
Footnotes :
[1] Yang benar adalah Mu’arrif sebagaimana telah lalu dalam sanad Abu Daawud, dan sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab para perawi hadits.

Minggu, 09 November 2014

Al-Qur'an Hadits tentang sabar

Ayat Al-Qur’an dan Hadits Tentang Sabar
Ayat Al-Qur’an Tentang Sabar :
Allah SWT SWT berfirman :

1. “Hai orang-orang yang beriman. Bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiaga-siaga (diperbatasan negrimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Q.S AL Imran 200).

2. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kehilangan jiwa (kematian) dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(Q.S. AL-Baqarah 155).

3. “Sungguh akan dibayar upah (pahalah) orang-orang yang sabar dengan tiada batas hitungan.” (Q.S. Az-Zumar 10).

4.  “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (Q.S. Asy-Syuura 43).

5. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan shalat) sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ” (Q.S. Al-Baqarah 153).

6. “Kami (Allah) pasti akan menguji kamu, hingga nyata dan terbukti mana yang pejuang dan mana yang sabar dari kamu” (Q.S. Muhammad 31).

Lebih lengkap lagi tentang Ayat Al-Qur'an Tentang Sabar

Hadits Tentang Sabar : 
1. Abu Malik (Alharits) bin Ashim Al-Asj’ary r.a berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w. : Kebersihan (kesucian) itu sebagian dari iman, dan ucapan: Alhamdulillah, memenugi timbangan dan Subhanallah serta Alhamdulillah memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, sembahyang sebagai pelita (cahaya), sedekah sebagai bukti iman, kesabaran itu penerangan, Qur’an sebagai bukti yang membenarkan kamu atau yang menentang kamu, semua manusia pada waktu pagi menjual dirinya, ada yang membebaskan dan yang membinasakan dirinya. (H.R. MUSLIM).

2. Abu Jahja (Shuhaib) bin Sinan Arrumy r.a berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w : Sangat mengagumkan keadaan seorang mu’min, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mu’min : jika mendapat ni’mat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan (ia) sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya.
(H.R. MUSLIM)

3. Anas bin Malik r.a berkata : Pada suatu hari Rasulullah s.a.w berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Bertaqwalah kepada Allah SWT dan sabarlah. Dijawab oleh wanita (itu) : enyalah kau daripadaku, kau tidak menderita bala’ musibah ku ini. Wanita itu tidak mengetahui bahwa yang berbicara itu adalah Rasulullah s.a.w. kemudian ia diberi tahu bahwa itu tadi Nabi s.a.w. Maka segeralah wanita itu pergi ke rumah Nabi s.a.w dan disana ia tidak menemukan juru kunci atau penjaga pintu sehingga dapat masuk dengan tidak bersusah payah, lalu berkata : Sebenarnya saya tidak mengetahui bahwa yang berbicara tadi adalah engakau ya Rasulullah s.a.w. Maka sabda Nabi s.a.w : Sesengguhnya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari bala’.
(H.R. BUCHARI dan MUSLIM)

4. Anas r.a berkata: Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w berasabda: Allah SWT telah berfirman: Apabila Saya menguji seorang hamba-Ku dengan buta kedua matanya, kemudian ia sabar, maka Saya akan menggantikannya dengan surga.
(H.R. BUCHARI)

Demikian artikel Ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Sabar, semoga dapat menambah iman dan taqwa kita kepada Allah SWT,, aamiin.. dan saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam kata dan tulisan, dan saya mohon agar anda dapat membenarkan saya melewati kolom komentar.. terimakasih.

Sabtu, 08 November 2014

Biodata Moch Miftah





Nama: Mochammad Miftah Fauzi Lathif
TTL: Bandung, 07-10-2001
Kelas: 7J
Sekolah: Smp N 10 Tasikmalaya
Hobby: Sepak bola, Maen Game, Jelajah, Nongkrong
Umur: 13 Tahun

Rabu, 15 Mei 2013

Densus 88 Tangkap Guru Ngaji

.
Saat ditemui, Khoerudin, orang tua FS di rumahnya mengaku, pihak keluarga sudah mendapat kabar bahwa FS dalam kondisi baik dan saat ini masih ditahan di rutan Brimob Kelapa dua Jakarta.
Khoerudin, tidak menerima dan sangat menyesalkan atas penangkapan anaknya oleh Densus 88 yang terkesan arogan, karena FS tidak pernah terlibat dan melakukan aksi “terorisme”. Pihak keluarga berharap agar Densus 88 secepatnya memulangkan FS.
Jika tidak terbukti terlibat dalam aksi “terorisme”, keluarga akan menutut Densus 88 dan meminta kepada pemerintah untuk membubarkan Densus 88, karena dinilai telah memfitnah serta membuat malu keluarga.
Seperti dilansir inilah.com, ayah dua anak yang juga wirausahawan kerudung dan busana Muslim ini saat ditangkap langsung ditutup kain hitam oleh 6 orang dan dibawa pergi entah ke mana.
“Saat kejadian, kami pihak keluarga benar-benar kebingungan. Fajar telah diculik, dia seperti ditelan bumi,” tutur Hilmi.
Pihak keluarga sendiri baru mengetahui Fajar ditangkap Densus 88 setelah 6 hari kemudian, persisnya Senin (1/4/2013) kemarin.
Dia bersama keluarga dan masyarakat sekitar mengaku kaget. Fajar yang selama ini dikenal baik, rendah hati, penyayang dan tidak pernah melakukan tindakan kriminal, tiba-tiba ditangkap Densus 88.
“Kami menuntut keadilan dari pemerintah, jangan bertindak semena-mena terhadap warga negaranya, junjung tinggi Hak Asasi Manusia,” tegas Hilmi.
Dia juga mengecam tindakan Densus 88 dan meminta pemerintah agar segera membubarkan detasemen ini.
Sementara itu, ribuan massa yang terdiri dari sejumlah ormas, himpunan mahasiswa, pelajar dan santri dari berbagai wilayah di Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar melakukan aksi, Selasa (2/4/2013) di Institusi Polri melalui Polresta Tasikmalaya dan DPRD Kab Tasikmalaya.
Dalam surat undangan yang dikeluarkan Majelis Mujahidin Lajnah Perwakilan Daerah Tasikmalaya, nomor 017/MM/IV/2013, aksi solidaritas Muslim Tasikmalaya menggelar orasi di Mapolresta Tasikmalaya dan DPRD Kota Tasikmalaya. Ribuan massa dikabarkan menghadiri aksi ini. Sumber: rmol.com/inilah.com (salam-online)