Sabtu, 06 Juni 2015

“Perkara Halal yang Dibenci Allah Adalah Perceraian”

ceraiHadits yang sudah sangat ma’ruf di telinga kita semua, yaitu “Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Perceraian.” Namun bagaimanakah jalan periwayatan hadits ini sebenarnya? Dan bagaimanakah status haditsnya?
Hadits ini teriwayatkan dengan dua jalan, musnad dan mursal :
1. Sanad musnad, dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Daawud dalam Sunan-nya dengan sanad dan matan :
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid, dari Mu’arrif bin Waashil, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Ibnu ‘Umar -radhiyallaahu ‘anhuma-, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah Ta’ala adalah thalaq (perceraian).”
[Sunan Abu Daawud 3/505]
Dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy (Sunan Al-Kubraa 7/320); Al-Jashshaash (Ahkaamul Qur’an no. 310), dari jalan Muhammad bin Khaalid.
Para perawi Abu Daawud adalah para perawi tsiqah, kecuali Muhammad bin Khaalid.
Muhammad bin Khaalid bin Muhammad Al-Wahbiy, Abu Ahmad Al-Himshiy Al-Kindiy, Abu Daawud berkata “tidak mengapa dengannya”, Al-Haafizh berkata “shaduuq”. [Tahdziibul Kamaal no. 5180; Taqriibut Tahdziib no. 5848]
Al-Imam Al-Haakim mengeluarkannya dari jalan Ahmad bin Yuunus :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، ثنا مَعْرُوفُ بْنُ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah menceritakan kepada kami Ma’ruuf bin Waashil[1], dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Al-Mustadrak 2/196]
Al-Haakim berkata :
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
“Hadits ini shahih, namun keduanya (yaitu Al-Bukhaariy dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” (Dan Al-Haafizh Adz-Dzahabiy dalam Talkhish-nya mengatakan sesuai syarat Muslim).
Para perawi Al-Haakim adalah para perawi tsiqah, kecuali Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah Al-‘Absiy, atau Abu Ja’far bin Abi Syaibah Al-Kuufiy Al-Haafizh, terjadi pertentangan ahli naqd pada dirinya, namun yang benar ia shaduuq, seorang ahli ilmu sebagaimana perkataan Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 6/254, dan ia mempunyai kelemahan dalam periwayatannya, sebagaimana perkataan Abul Husain bin Al-Munaadiy, yg dinukil Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam Lisaanul Miizaan 7/342 :
قد أكثر الناس عنه على إضطراب فيه
“Banyak manusia telah meriwayatkan darinya diatas idhtiraab padanya.”
Inilah kuncinya, karena ternyata Ahmad bin Yuunus, Syaikhnya Abu Ja’far meriwayatkan tidak dengan sanad musnad, sebagaimana yang akan datang nanti, insya Allah.
Mu’arrif dalam periwayatannya dari Muhaarib mempunyai mutaba’ah dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Maajah :
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid Al-Himshiy, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid, dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Sunan Ibnu Maajah no. 2018]
Dan dikeluarkan pula oleh Ath-Tharasuusiy (Musnad Ibnu ‘Umar no. 14); Tammaam Ar-Raaziy (Fawaa’id no. 26); Al-Baghawiy (Ma’aalimut Tanziil no. 153); Ibnu ‘Asaakir (Taariikh Dimasyq 5/422), semua dari ‘Ubaidullaah bin Al-Waliid.
‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy, Abu Ismaa’iil Al-Kuufiy. Ahmad berkata “bukan orang yang muhkam dalam haditsnya”, Ibnu Ma’iin, Abu Zur’ah dan Abu Haatim sepakat melemahkannya, dalam riwayat lain Ibnu Ma’iin berkata “tidak ada nilainya”, Al-Fallaas dan An-Nasaa’iy berkata “matruuk”, An-Nasaa’iy dalam riwayat lain berkata “tidak tsiqah, tidak ditulis haditsnya”, Abu Ja’far Al-‘Uqailiy berkata “didalam haditsnya banyak hal-hal yang diingkari, tidak mempunyai penguat terhadap kebanyakan haditsnya”, dan Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy pun melemahkannya. [Tahdziibul Kamaal no. 3694; Taqriibut Tahdziib no. 4350]
Maka sanad Ibnu Maajah ini tidak bisa dijadikan mutaba’ah. Al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauziy mencacatkannya dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyah no. 1056.
2. Sanad mursal, dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Daawud dalam Sunan-nya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا مُعَرِّفٌ، عَنْ مُحَارِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah menceritakan kepada kami Mu’arrif, dari Muhaarib, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu yang Dia benci atasnya melebihi perceraian.”
[Sunan Abu Daawud 3/504]
Ahmad bin ‘Abdillaah bin Yuunus At-Tamiimiy Al-Yarbuu’iy, Abu ‘Abdillaah Al-Kuufiy. Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam At-Taqriib no. 63, mensifatinya dengan “tsiqah haafizh”.
Dan yang lebih menguatkan bahwa Ahmad bin Yuunus meriwayatkan hadits ini secara mursal adalah sanad yang dikeluarkan Al-Imam Al-Baihaqiy :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، نا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، نا أَبُو دَاوُدَ، نا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، نا مُعَرَّفٌ، عَنْ مُحَارِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillaah Al-Haafizh, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih, telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Yuunus. (Dalam sanad yang lain) Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ar-Ruudzbaariy, telah memberitakan kepada kami Abu Bakr bin Daasah, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud, telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Yuunus, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’arrif, dari Muhaarib, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Sunan Al-Kubraa 7/320]
Abu Bakr Al-Baihaqiy berkata :
هَذَا حَدِيثُ أَبِي دَاوُدَ، وَهُوَ مُرْسَلٌ، وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، مَوْصُولا وَلا أَرَاهُ حَفِظَهُ
“Ini adalah hadits Abu Daawud, dan ia mursal. Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah (yaitu Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah), dari ‘Abdullaah bin ‘Umar diriwayatkan secara maushul, aku tidak melihat riwayat ini terjaga.”
Al-Imam Al-Baihaqiy mengeluarkannya dari jalan Yahyaa bin Bukair yang juga mursal, dengan matan yang lebih panjang :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ مِنْ أَصْلِ سَمَاعِهِ، أنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَطَّانُ، نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَارِثِ الْبَغْدَادِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، نا مُعَرَّفُ بْنُ وَاصِلٍ، حَدَّثَنِي مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ، قَالَ: ” تَزَوَّجَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةً فَطَلَّقَهَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَتَزَوَّجْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ طَلَّقْتُ، قَالَ: أَمِنْ رِيبَةٍ؟ قَالَ: لا، قَالَ: قَدْ يَفْعَلُ ذَلِكَ الرَّجُلُ، قَالَ: ثُمَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً أُخْرَى فَطَلَّقَهَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِثْلَ ذَلِكَ، قَالَ مُعَرَّفٌ: فَمَا أَدْرِي أَعِنْدَ هَذَا، أَوْ عِنْدَ الثَّالِثَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَلالِ أَبْغَضَ إِلَى اللَّهِ مِنَ الطَّلاقِ
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih -dari sama’nya-, telah memberitakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Qaththaan, telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Al-Haarits Al-Baghdaadiy, telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Bukair, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’arrif bin Waashil, telah menceritakan kepadaku Muhaarib bin Ditsaar, ia berkata, “Seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia menceraikan istrinya. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya :
“Bukankah kau sudah menikah?” Laki-laki itu menjawab, “Benar,” Nabi bertanya, “Lalu bagaimana?” Laki-laki menjawab, “Lalu aku menceraikannya,” Nabi bertanya kembali, “Bukankah (kau menceraikannya) karena bimbang?” Laki-laki menjawab, “Tidak.” Muhaarib berkata, “Sungguh laki-laki tersebut telah melakukan hal itu (yaitu menceraikan istrinya).”
Kemudian ia menikah kembali dengan wanita yang lain, dan ia pun menceraikannya. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya kepadanya hal yang serupa. Mu’arrif berkata, “Aku tidak tahu apakah ketika perceraian yang kedua ini atau ketika perceraian yang ketiga kali, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya tidak ada sesuatupun dari perkara halal yang dibenci Allah melebihi perceraian.”
[Sunan Al-Kubraa 7/320; Sunan Ash-Shaghiir no. 2786]
Yahyaa bin ‘Abdillaah bin Bukair Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Zakariyya Al-Mishriy, Al-Haafizh Al-‘Asqalaaniy dalam At-Taqriib no. 7630 mengisyaratkan akan tsiqahnya ia terutama pada riwayatnya dari Al-Laits namun ia diperbincangkan pada riwayatnya dari Maalik.
Al-Imam Abu Bakr bin Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Wakii’ :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ نَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنْ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” لَيْسَ شَيْءٌ مِمَّا أَحَلَّ اللَّهُ أَبْغَضَ إلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr (yaitu Ibnu Abi Syaibah), ia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ bin Al-Jarraah, dari Mu’arrif, dari Muhaarib bin Ditsaar, ia berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(hadits).”
[Al-Mushannaf 4/172]
Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ru’uusiy, Abu Sufyaan Al-Kuufiy. Seorang imam, Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 7414 mengatakan ia tsiqah haafizh dan ‘aabid (ahli ibadah).
Syaahid
Sanad ini mempunyai syaahid dari Mu’aadz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Ad-Daaraquthniy :
نَا عُثْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الدَّقَّاقُ، نَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سِنِينَ، نَا عُمَرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ خَالِدٍ، نَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَالِكٍ اللَّخْمِيُّ، نَا مَكْحُولٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ، فَمَنْ طَلَّقَ وَاسْتَثْنَى فَلَهُ ثُنْيَاهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad Ad-Daqqaaq, telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin Siniin, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Ibraahiim bin Khaalid, telah mengkhabarkan kepada kami Humaid bin ‘Abdirrahman bin Maalik Al-Lakhmiy, telah mengkhabarkan kepada kami Makhuul, dari Maalik bin Yukhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu…dst (hadits).”
[Sunan Ad-Daaraquthniy no. 3941]
Namun sanad ini sangat lemah, ‘Umar bin Ibraahim bin Khaalid Al-Kurdiy Al-Haasyimiy, ia seorang pendusta sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy, bahkan dinukil dari Ad-Daraaquthniy, ia berkata “pendusta yang sangat buruk”. [Al-Mughniy fiy Adh-Dhu’afaa’ 2/34; Miizaanul I’tidaal 5/216]
Sedangkan Humaid, kami mendapatinya di kitab-kitab para perawi hadits dengan nama Humaid bin Maalik Al-Lakhmiy (dialah yang meriwayatkan dari Makhuul), ayahnya tidak bernama ‘Abdurrahman, wallaahu a’lam. Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan 2/390 mengisyaratkan akan kelemahannya dengan menukil bahwa Ibnu Ma’iin, Abu Zur’ah dan yang selain mereka melemahkan Humaid. An-Nasaa’iy berkata, “Aku tidak mengetahui yang meriwayatkannya selain Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dua-duanya tsiqah.” Dan An-Nasaa’iy sendirian dalam ta’dil.
Ad-Daaraquthniy mengeluarkan pula dari jalan Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari Humaid :
نَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ الدَّوْلابِيُّ، وَيَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالا: نَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ مَالِكٍ اللَّخْمِيِّ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” يَا مُعَاذُ، مَا خَلَقَ اللَّهُ شَيْئًا عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَتَاقِ، وَلا خَلَقَ اللَّهُ شَيْئًا عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاقِ، فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِمَمْلُوكِهِ: أَنْتَ حُرٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَهُوَ حُرٌّ، وَلا اسْتِثْنَاءَ لَهُ، وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَهُ اسْتِثْنَاؤُهُ، وَلا طَلاقَ عَلَيْهِأَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَهُ اسْتِثْنَاؤُهُ، وَلا طَلاقَ عَلَيْهِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul ‘Abbaas Muhammad bin Muusaa bin ‘Aliy Ad-Daulaabiy dan Ya’quub bin Ibraahiim, keduanya berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari Humaid bin Maalik Al-Lakhmiy, dari Makhuul, dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Wahai Mu’aadz, tidaklah Allah menciptakan sesuatu diatas muka bumi yang Dia sukai melebihi memerdekakan budak, dan tidak pula Allah menciptakan sesuatu diatas muka bumi yang Dia benci melebihi perceraian…dst (hadits).”
[Sunan Ad-Daaraquthniy no. 3939]
Sanad ini pun lemah, Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy bin Saliim Al-‘Ansiy, Abu ‘Utbah Al-Himshiy, Al-Haafizh dalam At-Taqriib no. 473 berkata, “shaduuq pada riwayatnya dari penduduk negerinya (yaitu Syaam), dan tercampur baur pada riwayat dari selainnya”, dan Humaid Al-Lakhmiy bukan penduduk negeri Syaam, maka periwayatan Ibnu ‘Ayyaasy darinya lemah.
Selain faktor Ibnu ‘Ayyaasy, sanad ini mursal, Makhuul Asy-Syaamiy tidak pernah bertemu dengan Mu’aadz bin Jabal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Imam At-Tirmidziy dalam Tahdziibul Kamaal no. 6168 :
وقال أبو عيسى الترمذي: سمع من: واثلة، وأنس، وأبي هند الداري، ويقال: إنه لم يسمع من أحد من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إلا من هؤلاء الثلاثة
Dan berkata Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy, “Mendengar dari Waatsilah (bin Al-Asqa’), Anas dan Abu Hind Ad-Daariy dan dikatakan sesungguhnya ia tidak mendengar dari seorangpun sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali dari ketiga sahabat tersebut.”
Terlebih lagi terjadi idhtiraab pada kedua sanad. Sanad pertama teriwayatkan secara musnad muttashil namun ada perawi pendusta didalamnya, sedangkan sanad kedua teriwayatkan secara mursal. Jika dirajihkan sanad Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, maka yang mahfuuzh dalam sanad syaahid ini adalah yang mursal.
Oleh karena itu hadits Mu’aadz ini tidak bisa menjadi penguat hadits Muhaarib.
Khulashah Sanad
Maka dari penjabaran diatas, sanad yang musnad muttashil teriwayatkan dari jalan Muhammad bin Khaalid (dan ia tsiqah atau bahkan hanya shaduuq), sementara pada riwayat Al-Haakim teriwayatkan dari jalan Ahmad bin Yuunus, namun sanad Al-Haakim syaadz karena Abu Ja’far bin Abi Syaibah menyelisihi Abu Daawud yang meriwayatkan dari Ahmad bin Yuunus secara mursal (sebagaimana perkataan Al-Baihaqiy yang telah lalu, dan Abu Daawud jelas lebih haafizh dari Abu Ja’far), oleh karena itu sanad yang mahfuuzh adalah sanad Ahmad bin Yuunus secara mursal.
Sementara sanad yang mursal teriwayatkan dari 3 jalan, yaitu Ahmad bin Yuunus, Yahyaa bin Bukair dan Wakii’ bin Al-Jarraah, dan mereka adalah para imam haafizh yang riwayatnya dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim, dan riwayat mereka saling mendukung.
Al-Imam Ibnu Abi Haatim berkata :
وسألتُ أبي عن حديث رواه محمد بن خالد الوَهْبي، عن الوصَّافي، عن محارب بن دثار، عن عبد الله بن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أبغض الحلال إلى الله الطلاق. ورواه أيضا محمد بن خالد الوهبي، عن معرف بن واصل، عن محارب بن دثار، عن عبد الله بن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله، قال أبي : محارب، عن النبي صلى الله عليه وسلم مرسل
Aku bertanya pada ayahku mengenai hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Al-Washaafiy, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian.” Dan diriwayatkan pula oleh Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Mu’arrif bin Waashil, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari ‘Abdullaah bin ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam semisalnya.
Ayahku berkata, “(Yang benar) Muhaarib dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, secara mursal.” [Al-‘Ilal li Ibni Abi Haatim no. 1297]
Al-Imam Ad-Daaraquthniy ditanya mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini, maka ia berkata :
يرويه عبيد الله بن الوليد الوصافي، عن محارب كذلك، ورواه معرف بن واصل واختلف عنه : فرواه محمد بن خالد الوهبي، عن معرف، عن محارب، عن إبن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم، ورواه أبو نعيم، عن معرف، عن محارب مرسلا، عن النبي صلى الله عليه وسلم، والمرسل أشبه
“‘Ubaidullaah bin Al-Waliid Al-Washaafiy meriwayatkannya dari Muhaarib seperti itu. Dan diriwayatkan Mu’arrif bin Waashil, namun terjadi ikhtilaf padanya. Pada periwayatan Muhammad bin Khaalid Al-Wahbiy, dari Mu’arrif, dari Muhaarib, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam (secara musnad), dan diriwayatkan Abu Nu’aim, dari Mu’arrif, dari Muhaarib secara mursal, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan sanad yang mursal lebih mendekati (kebenaran).” [Al-‘Ilal Al-Waaridah no. 3123]
Demikian pula Abu Bakr Al-Baihaqiy merajihkan sanad yang mursal dari perkataannya yang telah lalu diatas.
Al-Haafizh Abu ‘Abdillaah Ibnu ‘Abdil Haadiy berkata :
روي مرسلا، وهو أشبه، قاله الدارقطني، وقال أبو الحاتم: إنما هو محارب عن النبي صلى الله عليه وسلم مرسل
“Riwayat mursal lebih mendekati (kebenaran), demikian perkataan Ad-Daaraquthniy. Dan Abu Haatim berkata, “Yang benar adalah Muhaarib, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mursal.” [Al-Muharrar 1/566]
Al-Haafizh Abu Hafsh Ibnul Mulaqqin berkata :
وهذا مرسل كما ترى
“Dan hadits ini mursal sebagaimana telah kau lihat.” [Al-Badrul Muniir 8/66]
Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy berkata :
ورجح أبو حاتم والدارقطني في العلل والبيهقي المرسل
“Abu Haatim dan Ad-Daaraquthniy dalam Al-‘Ilal, juga Al-Baihaqiy, merajihkan yang mursal.” [Talkhiishul Habiir 3/417]
Syaikh Syu’aib Al-Arnaa’uuth dalam ta’liiq dan takhriij Sunan Abu Daawud 3/504 merajihkan yang mursal.
Maka kesimpulannya, hadits “Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Perceraian”, yang rajih adalah hadits ini hadits mursal, dan hadits mursal termasuk bagian dari hadits-hadits yang dha’if. Selesai.
Tanbiih
Walaupun hadits ini dha’if, namun maknanya shahih. Syaikh Al-Arnaa’uuth dalam ta’liqnya berkata :
ولكنه مع إرساله يحتج به عند الأئمة الثلاثة، أبي حنيفة، ومالك، وأحمد، إذا لم يكن في الباب ما يخالفه. انتهى كلام الشيخ
“Akan tetapi bersamaan dengan keterputusan sanadnya, hadits ini dijadikan hujjah di sisi para imam yang tiga, Abu Haniifah, Maalik dan Ahmad, jika dalam bab ini tidak ada hadits yang menyelisihinya.” Selesai perkataan Syaikh.
Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
يروى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( أبغض الحلال إلى الله الطلاق ) وهذا الحديث ليس بصحيح ، لكنَّ معناه صحيح ، أن الله تعالى يكره الطلاق ، ولكنه لم يحرمه على عباده للتوسعة لهم ، فإذا كان هناك سبب شرعي أو عادي للطلاق صار ذلك جائزاً ، وعلى حسب ما يؤدي إليه إبقاء المرأة ، إن كان إبقاء المرأة يؤدي إلى محظور شرعي لا يتمكن رفعه إلا بطلاقها فإنه يطلقها ، كما لو كانت المرأة ناقصة الدين ، أو ناقصة العفة ، وعجز عن إصلاحها ، فهنا نقول : الأفضل أن تطلق ، أما بدون سبب شرعي ، أو سبب عادي ، فإن الأفضل ألا يطلق ، بل إن الطلاق حينئذٍ مكروه ” انتهى
Diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian,” dan hadits ini tidaklah shahih akan tetapi maknanya shahih, karena Allah Ta’ala membenci perceraian namun Dia tidaklah mengharamkan perceraian atas para hambaNya untuk mempermudah mereka. Jika disana terdapat sebab yang syar’i atau alasan yang umum dan jelas untuk bercerai, maka dibolehkan, dan semua tergantung pada sebab-sebab yang membuat ia menahan istrinya. Namun jika menahan sang istri membuatnya menghampiri perkara-perkara yang terlarang secara syar’i, tidaklah mungkin baginya untuk mengatasi perkara-perkara tersebut kecuali dengan menceraikannya, maka ia (boleh) menceraikannya, sebagaimana jika sang istri ternyata kurang berkomitmen terhadap agamanya atau kurang akhlaknya dan sulit untuk meluruskannya, maka disini kami katakan, “Yang afdhal adalah kau menceraikan.” Adapun jika tanpa ada sebab yang dibenarkan syar’i, atau alasan yang umum, maka yang afdhal adalah tidak bercerai, bahkan jika bercerai dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.” Selesai.
[Liqaa’aat Al-Baab Al-Maftuuh no. 55, soal no. 3]
Alhamdulillaahil-ladziy bi ni’matihi tatimmush-shaalihaat. Semoga bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
Tangerang, 24 Jumadil Awwal 1435 H
Tommi Marsetio
Banyak mengambil faidah dari :
Al-Badrul Muniir“, karya Al-Haafizh Abu Hafsh Ibnul Mulaqqin, Daarul Hijrah lin-Nasyr wat-Tauzii’, cetakan pertama.
Footnotes :
[1] Yang benar adalah Mu’arrif sebagaimana telah lalu dalam sanad Abu Daawud, dan sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab para perawi hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar